Pagi ini burung-burung berkicau, berawan, dan udara yang sejuk benar-benar mendukung seorang anak laki-laki bernama Jeremy untuk mendapatkan kebahagiaannya di awal hari ini.
“Aku mencintaimu.” Ucap Jeremy kepada perempuan di
depannya.
“...”
“Kamu mau nggak jadi pacar ku?” tanyanya lagi dengan ragu.
Ketika mendengar kalimat itu, gadis manis itu segera
mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk sambil tersenyum lebar. “Aku
mau.”
“Tapi, kita backstreet
yah? Please.” Pinta Jeremy dengan
sangat.
Mulut Ana ternganga mendengar pernyataan Jeremy. Tanpa
sadar, Ana menganggukkan kepalanya.
---***---
Ana mengetukkan pensilnya ke buku tulis beberapa kali.
Entah karena kesal atau sibuk memikirkan hubungannya dengan Jeremy yang baru
berlangsung 3 jam sejak dia menembaknya tadi pagi. Dia masih tidak mengerti,
mengapa Jeremy ingin backstreet
dengannya.
“Baik
lah anak-anak. Bapak ada rapat, jadi kalian kerjakan saja soal-soal yang ada di
buku itu di halaman 100. Ketua kelas! Jaga kelas supaya tetap tenang. Jangan
ribut!” kata pak Herman, guru matematika kami.
“Baik, pak.” Jawab Jeremy, ketua kelas.
Sejak pelajaran dimulai sampai sekarang, matanya sibuk
mengawasi Ana yang tidak memperhatikan guru dari tadi. Yah, walaupun hanya guru
matematika tadi yang tidak diperhatikannya. Tapi hal itu membuat Jeremy cemas.
Untungnya pak Herman tidak melihat tingkah Ana yang sama sekali tidak
memperhatikannya sejak dia masuk ke kelas.
Tiba-tiba, Ana tersentak kaget karena hp-nya yang
bergetar. Ana segera membuka sms yang masuk dengan cekatan.
Kamu
nggak memperhatikan guru dari tadi?
Perhatiin,
kok.
Pak Herman kok nggak ada?
Mungkin
di toilet
Ketahuan! Pak Herman ada rapat. Dia
sendiri yang bilang tadi.
Melihat balasan
terakhir dari Jeremy, Ana menjadi salah tingkah dan memijit tengkuknya karena
merasa malu.
Iya, iya. Maaf, deh.
Ada masalah apa? Cerita dong.
Melihat kalimat itu,
Ana mendesah panjang. Bagaimana ia bisa menceritakan masalahnya jika itu
menyangkut keberatan dirinya tentang hubungannya dengan Jeremy?
Ana menatap ponsel itu lama. Tangannya yang kemudian
ingin membalas sms dari Jeremy itu segera terhalang karena tangan Diana, teman
dekat sekaligus teman sebangkunya yang menyikut pinggangnya. “Ngapain, sih?
Dari tadi belum buat tugas sama sekali. Ini tugas nanti dikumpul, tahu.”
“Hah?” kata Ana yang kaget.
“Kamu mau salin? Sekarang aja kamu salin. Nggak mungkin
kamu mau aku nunggu selesai, kan? Soalnya banyak.” Jawab Diana.
“Oh, oke.” jawab Ana seadanya karena merasa beruntung
Diana tidak melihat keanehan Ana dari tadi.
Ana kembali mengirim sms kepada Jeremy.
Kok nggak bilang kalau ada tugas?
Jahat, ih!
Yah, maaf deh. Asyik ngobrol sama
kamu, sih. :P
Nggak
akan kumaafin! Wekk!
Mata Jeremy segera membulat besar melihat sms terakhir
dari Ana. Dia langsung menoleh ke arah Ana yang ternyata sedang senyum-senyum
sendiri. Jeremy yang melihat hal itu
ikut tersenyum.
---***---
Drrrt! Drrt!
Dengan cekatan, Ana mengambil hp-nya yang bergetar dan
langsung membuka sms yang masuk. “Dari Jeremy!” batin Ana sambil tersenyum.
Ana, kita
pulang bareng yah? Dateng ke parkiran 10 menit lagi.
Kenapa?
Kok lama banget?
Tunggu teman-teman kita di parkiran
pulang.
Begitu melihat sms terakhir dari Jeremy, Ana langsung
mengembungkan pipinya, tanda bahwa dia kesal. Tak sampai semenit, dia langsung
mencari tempat duduk untuk menunggu tempat parkir sepi.
Saat Ana sedang sibuk mencari tempat duduk, Jeremy
melihatnya dari jauh. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Dengan santai dia
berjalan menuju bangku panjang yang terletak di sisi sebelah kanan lapangan
basket. Tak disangka, ternyata Ana juga duduk di bangku panjang di sisi kiri
lapangan basket. Mereka pun duduk berhadapan.
Ana yang baru duduk dan mengalihkan wajahnya ke depan
merasa terkejut ketika melihat Jeremy yang sedang mengetik sms. Bisa dia tebak
untuk siapa sms itu.
Ehem.
Lagi nunggu siapa nih?
Bukannya senang atau
bahkan tersenyum, Ana tidak membalas pesan Jeremy itu. Ana menutup hp-nya dan memasukkannya
kembali ke kantong rok dan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Melihat hal
itu, Jeremy menaikkan sebelah alisnya.
Jeremy mengirim sms lagi untuk Ana, namun diabaikan. Ana
bahkan tak mengambil dan membuka hp-nya yang bergetar. Ana tetap bertingkah
seolah tak terjadi apa-apa. Melihat hal itu, Jeremy menjadi gemas bukan main.
Dia bangkit dan menghampiri Ana.
“Kok nggak dibales?” tanya Jeremy pelan karena takut
terdengar yang lain.
Ana heran melihat Jeremy yang sudah duduk di sebelahnya.
Dengan santai, Ana mendekatkan wajahnya ke kepala Jeremy dan membisikkan
sesuatu,”Jangan duduk di sini. Nanti temen-temen curiga.”
Jeremy menahan tawanya begitu mendengar bisikan dari Ana.
Dia hanya tersenyum dan memandang Ana dengan penuh kelembutan. Ana yang melihat
mata indah itu hanya tersenyum simpul. Baru beberapa jam menjalani hubungan
tersembunyi ini, dia sudah sangat lelah.
---***---
“Eh, itu Ana sama Jeremy ngapain?” tanya Diana.
“Nggak tahu.” Jawab Selly, teman dekat Ana juga.
Terlihat jelas di mata Diana dari cara Jeremy memandang
dan bahasa tubuh mereka. Terlihat seperti seseorang yang sedang menjalin kasih.
Mereka berdua terlihat sangat ingin tahu.
Seorang laki-laki yang berada di belakang mereka
tersenyum puas melihat kejadian itu. Harry, laki-laki yang merupakan teman
dekat Jeremy terlihat sangat senang dengan rencananya yang berhasil
---***---
“Kamu marah?” tanya Jeremy kepada Ana saat mereka sudah
berada di mobil.
“Nggak.” Jawab Ana pelan.
“Ana, kamu kenapa sih? Cerita dong.”
“Kenapa kamu mau kita backstreet?”
tanya Ana tanpa memandang Jeremy.
“Ana…” balas Jeremy yang memohon Ana untuk tidak
memaksanya menjawab.
“Kalo kamu nggak jawab jujur, kita putus.”
Jeremy yang sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa,
hanya bisa mendesah panjang dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ada teman aku di kelas sebelah yang juga suka sama kamu.
Namanya Harry. Sebelum kita pacaran, dia sudah bilang duluan. Dia selalu
muji-muji kamu. Awalnya aku bisa tahan dan mau nyerah untuk dia. Tapi setelah denger
dia yang selalu ngomongin kamu, aku nggak tahan lagi. Aku putusin buat nembak
kamu dan pacaran sama kamu.”
“…”
“Ana, aku tahu aku salah. Tapi aku bener-bener sayang
sama kamu. Aku juga belum siap untuk ngomong jujur sama Harry. Aku juga takut
persahabatan kami pecah.”
“…”
“Ana?”
“Lebih baik kamu ngomong. Nggak baik kayak gitu. Lagian
kalau Harry memang suka sama aku, kenapa dia nggak ngomong ke aku? Kita udah
deket selama setengah tahun, kok.” Jawab ku yang tak suka dengan alasan Jeremy.
“Mungkin dia malu atau takut kamu nggak nerima dia. Jadi
dia belum siap ngomong.” Jawab Jeremy lembut.
“Jer?”
“Hmm? Oh, iya. Sebentar lagi kita sampai di rumah kamu
nih.” Jelas Jeremy yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kalau kamu nggak mau ngomong sama Harry tentang hubungan
kita. Kita putus.”
Jeremy menge-rem mobilnya mendadak setelah mendengar
pernyataan Ana. Ana terlihat tak perduli. Dia membuka sabuk pengamannya dan
turun dari mobil Jeremy.
Jeremy masih di tempat duduknya, melihat Ana yang
berjalan menuju rumahnya dengan bisu. Dia ingin turun dari mobil dan meraih
tangan Ana, tapi tubuhnya tak mau bergerak.
---***---
Keesokan harinya, Jeremy memutuskan untuk berbicara
dengan Harry saat ekskul berlangsung. Sebelumnya Jeremy telah memberi tahu
Harry lewat telpon.
“Hai, bro!” sapa Harry kepada Jeremy saat Jeremy tengah
bermain basket.
“Hai.” Sapa Jeremy setelah melempar bolanya ke ring. Dia
terlihat tak bersemangat saat melihat Harry.
Mereka berdua mulai mencari tempat untuk mengobrol berdua.
Tanpa ada siapa pun yang bisa mendengar mereka.
“Ada apa, Jer?” tanya Harry setelah mereka duduk di sudut
lapangan.
“Itu… mmm… si Ana…” balas Jeremy sambil memijit
tengkuknya.
“Kenapa Ana?” balas Harry dengan santai.
“Aku minta maaf banget, Har. Setelah aku cerita, kamu
boleh deh nonjok aku sampai puas atau lempar aku pake bola basket
bertubi-tubi.” Jawab Jeremy dengan wajah penuh penyesalan.
Harry yang sedang minum tiba-tiba tersedak dengan
pernyataan Jeremy. Wajahnya kaget, mulutnya menganga. Matanya tak lepas
memandang Jeremy dengan heran.
“Aku suka sama Ana.” Ujar Jeremy dengan tegas sambil
menatap mata Harry.
Wajah Harry yang sedari tadi heran bercampur kaget, kini
mulai mengendur. “Serius, Har.
Aku juga sudah pacaran sama dia sekarang.” Jawab Jeremy dengan jantungnya yang
berdetak tak karuan. Menunggu ekspresi wajah dan tanggapan dari Harry.
Harry tersenyum tulus dan berkata,“Selamat, Jer.”, sambil
menepuk punggung Jeremy.
Kata-kata Harry barusan sukses membuat mulut Jeremy
menganga lebar. Harry yang melihat itu tertawa keras. Rencananya benar-benar
sukses.
“Aku tahu kamu dari dulu suka sama Ana. Makanya aku
sengaja muji-muji Ana dan ngomongin dia terus supaya kamu bertindak. Kesel tahu
nggak ngelihat kamu yang cuma bisa ngelihatin dia terus selama 1,5 tahun!
Keburu diambil orang!” Ujar Harry.
Perkataan Harry barusan sukses membuat Jeremy terdiam.
Namun beberapa detik kemudian, senyum tersungging di bibirnya. Dalam sekejap,
dia memeluk Harry dengan erat.
“Makasih, Har! Makasih banget!”
“Yo’i, bro!”
balas Harry dengan senyum tulus di wajahnya.
---***---
“Ana.” sapa Jeremy dari belakang Ana saat dia baru keluar
dari kelas seni.
“Apa?” balas Ana dengan nada malas.
“Kita perlu bicara.” Jawab Jeremy lalu membalikkan
badannya.
Mereka berdua kemudian duduk di bangku panjang yang
terletak di sebelah kiri lapangan basket yang kini sudah kosong. Terlihat wajah
Ana yang ogah-ogahan untuk mengobrol dengan Jeremy, namun dia bisa memaklumi
hal itu mengingat masalah yang ada di antara mereka berdua.
“Kita nggak usah backstreet
lagi.” kata Jeremy langsung.
“Hah?”
“Aku udah ngomong sama Harry, kok.” Jawab Jeremy.
Jeremy menceritakan semuanya. Mulai dari saat pertama dia
jatuh cinta pada Ana, Harry yang mengetahuinya, sampai kepada rencana Harry
yang sukses besar. Ekspresi wajah Ana selalu berganti-ganti saat Jeremy
menjelaskannya dari awal. Ana tidak menyangka jika Harry yang membuat Jeremy
menembak Ana dengan segera.
“Ehem. Terus?” tanya Ana kepada Jeremy saat dia selesai
menjelaskan.
Jeremy tersenyum dan memanggil Ana dengan lembut,”Ana…”
“Hmm?”
Tangan Jeremy menggenggam kedua tangan Ana, menatapnya
sebentar lalu memandang kedua bola mata Ana yang indah sambil tersenyum. “Kita
ulang semua ini dari awal, yah?”
Ana langsung tersenyum sumringah mendengar pertanyaan
dari Jeremy.
“Ana, maukah kamu menjadi pacar ku?”
Ana terdiam beberapa saat. Kemudian balik bertanya,”Backstreet?”
“Nggak!” Jawab Jeremy tegas sambil menggeleng keras.
Ana tertawa kecil, lalu menjawab,”Aku mau.”
Jeremy menghembuskan nafas yang telah ditahannya sejak
tadi dengan keras lalu menarik Ana ke dalam pelukannya. “Aku sangat mencintai
kamu dan mungkin aku nggak bisa hidup tanpa kamu.” Kata Jeremy sambil
mengeratkan pelukannya.
“Jadi, aku orang yang istimewa dong bagi kamu?” Lanjut
Ana dengan suara mungilnya.
Jeremy melepaskan pelukannya dan memandang Ana dengan
matanya yang tulus.“Yup. Karena kamu istimewa.”